CERITAKU
Sore itu begitu indah, sama halnya seperti sore kemarin. Angin
berhembus pelan menerbangkan selendangku dengan indahnya, seakan
memiliki melodinya sendiri. Di barat sana, mentari sore membalut tubuhku
dengan kehangatannya. Sementara di bawah, ombak tenang menemani langkah
kakiku.
Sore itu semua tampak sama, seperti sore yang pernah kita
lewati bersama. Hanya saja, kenyataannya tak seperti kelihatannya. Sore
itu berbeda, karena kita tak lagi bersama seperti dulu. Lihatlah saja
langkah kaki yang tergambar di atas pasir yang elok, hanya sepasang. Tak
lagi ramai seperti tempo dulu.
Saat pertama memulai persahabatan
ini, aku seperti sudah meramal arusnya. Perkenalan, pendekatan,
persahabatan, dan tertunya terakhir, perpisahan. Tapi semuanya dari
kalian tidak percaya hal itu, dan kita semua mengabaikannya karena
terlalu terlena akan indahnya masa bersama. Bermain, tertawa, bercanda,
bahagia, berbagi, menangis, dan segalanya kita arungi bersama. Saling
hina ketika ada kesempatan, tetapi tetap saling merangkul saat ada yang
sedang membutuhkan. Ikatan itu terasa begitu kuat, sampai salah satu di
antara kita merasa sudah dewasa dan sudah saatnya memulai sebuah
kehidupan yang baru.
Dimulailah hari itu, hari di mana salah
seorang dari kita menjadi seorang istri, maka ia perlahan mulai
berjarak, tak lagi ada di dalam lingkaran persahabatan ini. Lalu satu
dan satu lagi, hingga akhirnya hanya tersisa diriku yang mungkin di
pikiran banyak orang menginginkan agar cepat menyusul kalian ke
pelaminan, atau berharap kalian bisa meluangkan waktu untukku yang masih
sendiri. Tapi keduanya meleset. Aku tak berharap seperti itu.
Jika ada seseorang yang ingin tahu apa yang kuinginkan sesungguhnya
saat ini, jawabannya adalah pergi. Menjauh dari semua memori indah yang
telah kita ukir bersama. Bukan karena aku tak menghargainya, justru
karena aku terlalu sulit melepaskannya. Melepas masa bahagia bersama
kalian, seperti halnya mentari terbenam yang akan menghilang dari
pandangan. Mengaburkan semua kenangan bersama kalian, yang sesungguhnya
terselip kenangan bersamanya juga. Dia, yang telah menikamkan sebuah
belati berkarat ke dalam ulu hatiku. Tikaman itu begitu menyiksa,
terlebih karena aku tak bisa membaginya kepada kalian.
Bagaimana
bisa? Ketika kalian semua sudah menikah dan memiliki masa indah bersama
seorang lelaki yang sangat mencintai, apa mungkin aku memasukkan cerita
sedihku ke dalam pikiran kalian? Tidak mungkin. Bagaimana pun aku adalah
sabahat kalian dan aku tahu apa yang akan kalian rasakan jika aku
mengungkap kepahitan rasanya dicampakkan oleh seseorang yang pernah
berjanji akan menjadikanmu tulang rusuknya. Jadi aku memilih bungkam,
dan bila mengakhiri persahabatan ini adalah jawaban agar kalian tak
risau lagi tentang kondisiku, maka aku memilih pergi. Menghilangkan
jejak dari kehidupan kalian, seperti halnya aku membiarkan debur ombak
menghapus jejak kakiku di pasir ini. Menit-menit pertama mungkin jejakku
masih akan tampak, namun seiring waktu, akan lepus pula bayanganku dari
pikiran kalian. Dan saat itu terjadi, aku telah mencapai keinginanku.
Untuk
kalian para sahabatku, satu hal yang pasti dari sebuah persahabatan
adalah tak ada hal yang lebih membahagiakan dari senyum seorang sahabat.
No comments
Post a Comment